Menerapkan Perubahan Menjadi Budaya Organisasi

Posted: Desember 29, 2009 in Manajemen

Setiap perubahan melalui pengembangan organisasi yang dilakukan oleh sebuah organisasi akan melahirkan nilai-nilai baru. Kasali (2007 : 272) mengungkapkan bahwa:

Manajemen Perubahan, suka tidak suka harus menyentuh transformasi nilai-nilai. Tanpa menyentuh dan melakukan transformasi nilai-nilai, manusia-manusia dalam suatu institusi akan tetap melakukan hal yang sama dengan cara-cara seperti  yang dilakukan di masa lalu.

Dari pendapat di atas, dapat kita simpulkan bahwa perlunya melakukan transformasi nilai-nilai dari hasil perubahan agar organisasi dapat berkembang sesuai dengan tujuan dilakukannya Pengembangan Organisasi. Kasali (2007 : 347) mengemukakan bahwa “Transformasi nilai-nilai adalah bentuk perubahan yang sangat sulit, sangat mendasar, butuh banyak waktu, tetapi merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan perubahan”.

Dalam proses transformasi ini yang harus diperhatikan adalah proses transisi (peralihan), dimana dalam masa transisi ini sangat memungkinkan organisasi terkontaminasi oleh nilai-nilai yang negatif yang tidak dikehendaki. Deal dan Kennedy (Kasali, 2007 : 273) mencatat setidaknya ada tujuh budaya negatif yang mengontaminasi organisasi pada masa transisi, yaitu:

  1. Budaya ketakutan (culture of fear), perubahan menimbulkan rasa tidak pasti dan kurang nyaman bagi mereka yang tidak memegang kendali.
  2. Budaya menyangkal (culture of denial), manusia dalam menghadapi perubahan tidak semuanya dapat menerima dan manusia akan sulit memperbaiki hidupnya selama ia menyangkal realitas baru.
  3. Budaya Kepentingan Pribadi (culture of self-interest), dalam situasi yang berubah akan ada banyak pihak yang lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan pribadinya. Masing-masing orang akan berupaya mengamankan kepentingan-kepentingan yang melekat pada dirinya.
  4. Budaya mencela (culture of cynicism), ketika orang-orang mulai mengedepankan kepentingan pribadinya maka tidak akan ada lagi respek dari para pengikut. Orang-orang akan mulai saling mencela dan sinis terhadap perilaku dan tindakan atasan-atasan dan kolega mereka yang terlalu mengedepankan urusannya sendiri.
  5. Budaya tidak percaya (culture of distrust), Ketika respek sudah tidak ada dan orang-orang saling mengedepankan kepentingan pribadinya, yang ada adalah rasa saling tidak percaya. Tanpa adanya kepercayaan maka otoritas tidak lagi bermakna.
  6. Budaya Anomi (culture of anomie), transisi biasanya diikuti oleh penggabungan (merger) dan pemisahan (spin off ) dari bagian-bagian, unit-unit usaha, departemen dan sebagainya. Buntut dari kehilangan identitas kultural adalah perasaan ketergantungan dan merasa salah terus.
  7. Budaya mengedepankan kepentingan kelompok/subkultural (the rise of underground subcultures),

Ketujuh nilai tersebut dapat mengurangi atau bahkan menghapuskan karakter positif pengikat sebuah organisasi, seperti nilai-nilai komitmen, kebersamaan dan loyalitas, yang pada awalnya diharapkan semakin kuat setelah dilakukan perubahan melalui pengembangan organisasi.

Budaya adalah satu set nilai, penuntun kepercayaan akan suatu hal, pengertian dan cara berpikir yang dipertemukan oleh para anggota organisasi dan diterima oleh anggota baru seutuhnya. Turner (1992), mengartikan budaya organisasi sebagai “norma-norma perilaku, sosial dan moral yang mendasari setiap tindakan dalam organisasi dan dibentuk oleh kepercayaan, sikap dan prioritas para anggotanya” (Kasali : 2007 : 285). Tujuan dari budaya organisasi adalah melengkapi para anggotanya dengan rasa (identittas) organisasi  dan menimbulkan komitmen terhadap nilai-nilai yang dianut organisasi.

Mengubah budaya dalam organisasi pada dasarnya adalah mengubah kebiasaan-kebiasaan (yaitu bagaimana pekerjaan diselesaikan) dalam suatu organisasi. Transformasi nilai-nilai mutlak diperlukan untuk mengubah arah organisasi dalam kurun waktu yang panjang ke depan. Oleh karena itu, proses ini dapat membawa hasil kalau ada hal-hal sebagai berikut:

  1. Leadership (kepemimpinan) yang kuat, dimana pemimpin bukanlah seseorang yang otoriter, melainkan pemimpin tim yang bekerja habis-habisan untuk organisasi, dan dengan berani mempertaruhkan jabatan dan kedudukannya untuk menghadapi fakta-fakta yang brutal.
  2. Dukungan bawahan, pemimpin yang kuat tidak ada artinya kalau ia tidak didukung oleh bawahan-bawahannya yang dengan rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan masa depan untuk menciptakan perubahan.
  3. Komunikasi yang jelas, transformasi nilai-nilai menimbulkan banyak pertanyaan di dalam hati. Pemimpin harus punya seni dalam berkomunikasi, baik verbal maupun non verbal.

Komitmen pemimpin, pemimpin harus membangun komitmen yang dimulai dari dirinya sendiri. Untuk memperoleh komitmen yang luas pemimpin dapat membangunnya melalui tiga tahapan, yaitu persiapan, penerimaan dan komitmen.

Tinggalkan komentar