Archive for the ‘Kebudayaan’ Category

Ilmu dan Bahasa

Posted: Desember 29, 2009 in Kebudayaan

A. Tentang  Terminologi : Ilmu, Ilmu Pengetahuan dan Sains ?

Dua Jenis Ketahuan (Pengetahuan)

Manusia dengan segenap kemampuannya seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindera dan intuisi mampu menangkap alam kehidupannya dan mengabstraksikan tangkapan tersebut dalam dirinya dalam berbagai bentuk ”ketahuan”, umpamanya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Terminologi ketahuan ini adalah terminologi artifisial yang bersifat sementara sebagai alat analisis yang pada pokoknya diartikan sebagai keseluruhan benyuk dari produk kegiatan manusia dalam usaha untuk mengetahui sesuatu. Untuk membedakan tiap-tiap bentuk dari anggota kelompok ketahuan ini terdapat tiga kriteria, yaitu :

  1. Apakah objek yang ditelaah yang membuahkan ketahuan tersebut? Kriteria ini disebut objek antologi.
  2. Bagaimana caranya mendapatkan ketahuan itu? Kriteria ini disebut landasan epistemologi yang berbeda untuk tiap bentuk apa yang diketahui manusia.
  3. Untuk apa ketahuan itu dipergunakan atau nilai kegunannya? Kriteria ini disebut landasan aksiologi.

Jadi, seluruh bentuk dapat digolongkan kedalam kategori ketahuan. Dimana masing-masing bentuk dapat dirincikan oleh karakteristik objrk ontologis, landasan epistemologi dan landasan aksiologi masing-masing.

Beberapa Alternatif

Alternatif Pertama      =    Menggunakan ilmu pengetahuan untuk science dan pengetahuan untuk knowledge.

Alternatif Kedua        =    Asumsi bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah dua kata benda yakni ilmu dan pengetahuan

Kata sifat dari ilmu adalah ilmiah atau keilmuan metode yang digunakan dalam kegiatan ilmiah (keilmuan). Ahli dalam bidang keilmuan adalah ilmuwan.

Sains

Jalan keluar dari kebingungan semantik yang melanda terminologi ilmu pengetahuan diperkenalkan kata ”sains” yang dalam beberapa hal telah sah dipergunakan, umpamanya dalam gelar Magister Sains. Sains ini adalah terminologi yang dipinjami dari Bahasa Inggris yakni science.

B. Quo Vadis

Ilmu adalah sebagian dari pengetahuan. Dengan demikian, maka ilmu adalah pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri ilmiah atau dengan perkataan lain ilmu adalah sinonim dengan pengetahuan ilmiah. Menurut tata Bahasa Indonesia berdasarkan hukum diterangkan (D)/menerangkan (M), maka ilmu pengetahuan adalah ilmu yang bersifat pengetahuan. Dan pernyataan ini pada hakikatnya adalah salah, sebab ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bersifat ilmiah. Kata ganda dari dua kata benda yang sama biasanya menunjukkan dua objek yang berbeda.

C. Politik Bahasa Nasional

Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama. Pertama sebagai sarana komunikasi antar manusia (Fungsi Komunikatif). Kedua, sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut (Fungsi Kohesif/Integratif). Kedua fungsi ini harus seiring sejalan untuk menjaga keseimbangan dan menunjang pertumbuhannya.

Sebagai alat komunikasi pada pokoknya bahasa mencakup tiga unsur yakni :menyampaikan pesan yang berkonotasi perasaan (emotif), sikap (afektif) dan pikiran (penalaran). Sehingga, ketiga fungsi tersebut mampu mencerminkan perasaan, sikap dan pikiran suatu kelompok masyarakat yang mempergunakan bahasa tersebut.

Agar dapat menceminkan kemajuan zaman, maka fungsi komunikasi bahasa harus secara terus menerus dikembangkan. Namun, walau demikian harus secara sadar dan waspada kita jaga agar fungsi kohesif dari Bahasa Indonesia tetap terpelihara bahkan kalau mungkin lebih ditingkatkan lagi. Untuk itu, maka pembentukan kata-kata baru yang berasal dari bahasa daerah harus diarahkan pada pengembangan Bahasa Indonesia sebagai milik nasional dalam arti yang sedalam-dalamnya. Untuk itu, harus dicegah dominasi Bahasa Indonesia oleh salah satu daerah dan malah diarahkan agar Bahasa Indonesia menghimpun khasanah kata-kata yang terbaik dari seluruh bahasa daerah kita.

Perkembangan bahasa tentu saja tidak dapat dilepaskan dari sektor-sektor lain yang juga tumbuh dan berkembang. Sekiranya bahasa berkembang terisolasikan dari perkembangan  dari sektor-sektor lain,maka bahasa mungkin bersifat tidak berfungsi dan bahkan kontra produktif (counter-productive).

D. Revolusi Genetika

Revolusi gentika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia, sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia. Tentu saja banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi dan tidak membidik secara langsung manusia sebagai objek penelaahan.

Ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup ini, yang berkaitan erat dengan hakikat kemanusiaan itu sendiri, bersifat otonom dan terlepas dari kajian dan pengaruh ilmiah.

Penemuan riset genetika diasumsikan bahwa penemuan dalam riset tersebut akan dipergunakan dengan itikad baik untuk keluhuran manusia. Tetapi, bagaimana sekiranya penemuan ini jatuh ke tangan yang tidak bertanggungjawab? Garansi apa yang akan diberikan? Hal ini mendasari sikap penolakan terhadap dijadikannya manusia sebagai objek penelitian genetika. Secara moral kita lakukan evaluasi etis terhadap suatu objek yang tercakup dalam objek formal (ontologis) ilmu.

Manusia Indonesia dan Kebudayaan

Posted: Desember 29, 2009 in Kebudayaan

Kebudayaan

Dalam mempelajari kebudayaan manusia dikenal Ilmu Anthropologi. Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:

1.   Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)

Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi.
Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi. Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.

Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

2.   Fase Kedua (tahun 1800-an)

Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya

Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

3.   Fase Ketiga (awal abad ke-20)

Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.

4.   Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)

Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.

Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.

Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.

Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.

Manusia Indonesia dan Tantangan Zaman

Ketika bumi ini masih dicekam zaman es, Nusantara kita merupakan satu kesatuan tanah yang belum terbagi-bagi dalam ribuan pulau besar dan kecil seperti sekarang.

Manusia Indonesia dalam hal kebudayaan saat ini mengalami berbagai rintangan dan halangan untuk menerima serbuan kebudayaan asing yang masuk lewat Globalisasi (perluasan cara-cara sosial melalui antar benua). Dalam hal ini teknlogi informasi dan komunikasi yang masuk ke Indonedia turut merobah cara kebudayaan Indonesia tersebut baik itu kebudayaan nasional maupun kebudayaan murni yang ada di setiap daerah di Indonesia.

Dalam hal ini sering terlihat ketidakmampuan manusia di Indonesia untuk beradaptasi dengan baik terhadap kebudayaan asing sehingga melahirkan perilaku yang cenderung ke Barat-baratan (westernisasi). Hal tersebut terlihat dengan seringnya remaja/i Indonesia keluar-masuk pub, diskotik dan tempat hiburan malam lainnya berikut dengan berbagai perilaku menyimpang yang menyertainya dan sering melahirkan komunitas tersendiri terutama di kota-kota besar dan metropolitan. Dalam hal ini terjadinya berbagai kasus penyimpangan seperti penyalah gunaan zat adiktif, berbagai bentuk kategori pelacuran dan ‘western’ lainnya tak lepas dari ketidak mampuan manusia Indonesia dalam beradaptasi sehingga masih bersikap ‘conform’ dan ‘latah’ terhadap kebudayaan asing yang melenyapkan inovasi dalam beradaptasi dengan budaya asing sehingga melahirkan bentuk akulturasi.

Bila dikaji dengan teliti hal tersebut mungkin dikarenakan ciri-ciri manusia Indonesia lama yang masih melekat seperti percaya mitos dan mistik, sikap suka berpura-pura, percaya takhyul yang dimodifikasi, konsumerisme, suka meniru, rendahnya etos kerja dan lain sebagainya bisa jadi mengakibatkan terhambatnya akulturasi (percampuran dua/lebih kebudayaan yang dalam percampurannya masing-masing unsurnya lebih tampak). Sikap etnosentrime (kecenderungan setiap kelompok untuk percaya begitu saja akan keunggulan/superioritas kebudayaannya sendiri dan sikap senosentrisme (sikap yang lebih menyenangi pandangan/produk asing) merupakan hal selanjutnya yang dapat menghambat terwujudnya kebudayaan nasional untuk kemajuan bangsa dan negara.

Sepertinya, sudah saatnya manusia Indonesia berikut dengan berbagai kebudayaan daerahnya yang ada melakukan suatu bentuk adaptasi yang sifatnya inovasi/pembaruan dengan budaya Barat/asing seperti dalam hal kesenian dimana instrumen musik tradisional dipadukan dengan instrumen modern (alat-alat band dengan teknologi komputernya) maupun perawatan berbagai benda kebudayaan dengan teknologi asing yang ada sehingga akulturasi dapat diwujudkan.

Selain itu, pengaruh media komunikasi seperti Televisi, radio, Internet sangat besar dampaknya dalam hal cara pandang manusia Indonesia terhadap ras. Sinetron-sinetron maupun film yang ditayangkan di Televisi dan bioskop yang memvisualisasikan dan mensosialisasikan gaya hidup ras Caucasoid (orang Eropah) turut mempengaruhi cara pandang manusia Indonesia terhadap budayanya sehingga tidak timbul kesadaran untuk mempelajari tindakan sosial dan sebaliknya.

Dalam hal ini manusia Indonesia sepertinya lebih mengagung-agungkan/memuja ras Caucasoid berikut dengan gaya hidupnya dan menjadikannya sebagai kelompok acuan (umumnya oleh kaum perempuan) sehingga secara tak langsung mempengaruhi akal dan intelegensi, emosi, kemauan, fantasi dan perilaku manusia Indonesia sehingga terkendala dalam memajukan kebudayaannya sendiri.

Pada masa sekarang banyak tantangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia, tantangan ini tidak hanya dating pada satu aspek kehidupan melainkan di berbagai aspek kehidupan dan berbagai jenis tantangan. Hal ini menuntut kesiapan bangsa Indonesia untuk mampu menghadapi tantangan tersebut menuju kehidupan yang lebih makmur dan lebih baik.

Kondisi politik, pemerintahan dan ditambah krisis ekonomi global yang tidak menentu dan kondisi alam yang kian memburuk dengan adanya global warming, menuntut kesiapan dan kecerdasan bangsa untuk mengatasinya. Teknologi yang kian maju yang sangat jauh melesat kemajuannya dibandingkan pada saat manusia pertama kali ada dibumi ini harus disikapi dengan bijak agar tidak membawa petaka bagi kehidupan manusia sendiri.

REFERENSI :

Mochtar Lubis, 1984. “Bangsa Indonesia (masa lampau – masa kini – masa depan). Jakarta : PT. Inti Idayu Press.

Koentjaraningrat, 1999. “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”. Jakarta : Djambatan.

Manusia dan Kebudayaan

Posted: Desember 29, 2009 in Kebudayaan

A. Manusia dan Kebudayaan

E.B Taylor pada tahun 1871 dalam bukunya primitive culture, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan caranya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Sedangkan Kuntjaraningrat (1974) membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem, dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian.

Ketidakmampuan manusia untuk bertindak instinktif diimbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi. Kemampuan untuk belajar ini dimungkinkan oleh berkembangnya intelegensi dan cara berpikir simbolik. Manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang di dalamnya terkandung dorongan hidup yang dasar, inseting, perasaan, pikiran, dan kemauan. Budi inilah yang menyebabkan Manusian mengembangkan suatu hubungan yang bermakna dengan alam sekitar.

B. Kebudayaan dan Pendidikan

Nilai-nilai budaya yang disampaikan oleh proses pendidikan bukan nilai-nilai budaya yang diperlukan oleh anak didik kita kelak dimana dia akan dewasa dan berfungsi dalam masyarakat melainkan nilai-nilai konvensional yang sekarang berlaku dialami dan dipraktekkan oleh orang tua dan guru mereka. Dari pernyataan tersebut kita harus dapat menghasilkan indikator dan perkembangan yang sekarang ada untuk mempunyai karakteristik sebagai berikut :

  1. Memperhatikan tujuan dan strategi pembangunan nasional
  2. Pengembangan kebudayaan diajukan kea rah perwujudan peradaban yang bersifat khas

Masyarakat modern bertumpu kepada ilmu dan teknologi sebagai landasan utamanya. Sedangkan masyarakat tradisional yang berorientasi kepada status akan beralih menjadi masyarakat modern. Pengembangan kebudayaan nasional mencerminkan aspirasi dan cita-cita Bangsa Indonesia. Pancasila yang merupakan filsafat dan pandangan hidup merupakan dasar bagi pengembangan peradaban.

Albert Einstein mengungkapkan hakikat hidup adalah “Ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah hampa”.

C. Ilmu dan Pengembangan Kebudayaan Nasional

Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan mempengaruhi jalannya budaya. Ilmu terpadu secara intim dengan keseluruhan struktur sosial dan tradisi kebudayaan.

Dalam pengembangan kebudayaan nasional, ilmu mempunyai peranan ganda. Pertama, ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional. Kedua, ilmu merupakan sumber nilai yang mengikuti pembentukan watak suatu bangsa.

Ilmu sebagai suatu cara berpikir

Ilmu merupakan produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah. Dari hakikat berpikir ilmiah, maka karakteristik dari ilmu adalah :

  1. Mempunyai rasio
  2. Alur jalan pikiran yang logis dan konsisten
  3. Pengujian secara empiris
  4. Mekanisme yang terbuka terhadap koreksi
  5. Ilmu sebagai moral

Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang benar dengan tujuan untuk mendapatkan kebenaran dan pengabdian secara universal.

D. Dua Pola Kebudayaan

C.P. Snow dalam bukunya The Two Cultures, ada dua pola kebudayaan dalam tubuh mereka, yakni masyarakat ilmuan dan non-ilmuan. Dalam bidang keilmuan, di Negara kita telah mengalami polarisasi dan membentuk kebudayaan sendiri. Polarisasi ini didasarkan kepada kecenderungan beberapa kalangan tertentu untuk memisahkan ilmu kedalam dua golongan, yakni ilmu alam dan ilmu sosial.

Ilmu sosial mengalami dua masalah, yaitu sukarnya melakukan pengukuran aspirasi atau emosi seorang manusia, banyaknya variable yang mempengaruhi tingkah laku manusia.

Masalah ini menyebabkan ilmu alam relative maju dalam analisa kuantitatif dibandingkan ilmu-ilmu sosial. Sekiranya teori ilmu-ilmu sosial merupakan alat bagi manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, seperti juga ilmu-ilmu alam. Secara sosiologi terdapat kelompok yang memberi napas baru kepada ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu-ilmu perilaku manusia  yang bertumpu kepada ilmu-ilmu sosial tentang manusia menjadi sesuatu yang lebih dapat diandalkan dan kuantitatif.

Pembangkitan jurusan berdasarkan pasti alam dan sosial budaya harus dihilangkan. karena hambatan psikologis dan intelektual bagi pengembangan keilmuan di Negara kita. Hal ini akan menyebabkan mereka yang mempunyai minat dan bakat baik di bidang ilmu-ilmu sosial akan terbujuk memilih jurusan ilmu-ilmu alam karena alas an-alasan sosial psikologis.